Just another WordPress.com site

Archive for Maret, 2012

Too Love (3Kim Part 1/5)

Cast :
Kim Junsu
Kim Bohwa
Kim Jaejoong

Genre :
Romance, Drama

Happy Reading! ^^

“Bo Hwa-ah! Nanti malam, kau yang masak makan malam ya! Ajumma akan pulang terlambat malam ini!” teriak ajumma.

Bo Hwa hanya mendesah pasrah.

“Apakah nasibku akan selalu seperti ini?” Tanya Bo Hwa pada dirinya sendiri.

“Rasanya, aku tinggal disini hanya menjadi pembantu saja. Aku bahkan tidak dihargai sebagai keponakan mereka.” Gerutu Bo Hwa.

Bo Hwa lalu melanjutkan pekerjaannya. Bo Hwa tinggal di rumah ajumma dan ajusshi nya, sudah sekitar 3 tahun lamanya. Semua berawal saat kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa kedua orangtua Bo Hwa. Hak asuh Bo Hwa sempat diperebutkan oleh keluarga dari Ayah dan Ibunya. Sebenarnya, Bo Hwa lebih memilih untuk tinggal bersama keluarga dari Ibunya. Namun, pengadilan memenangkan keluarga dari Ayahnya. Hak asuh dan seluruh kekayaan orangtua yang diwariskan untuk Bo Hwa pun telah diambil alih oleh ajumma nya itu. Kini usia Bo Hwa sudah menginjak usia 23 tahun. Bo Hwa meminta ajumma-nya untuk menyekolahkannya, namun ajumma-nya menolak. Ajumma-nya tak ingin menghambur-hambur uang untuk biaya sekolah Bo Hwa. Terpaksa Bo Hwa harus bekerja untuk mendapatkan uang untuk sekolah. Walaupun biaya hidup ditanggung oleh ajumma-nya, namun ajumma-nya lebih suka jika Bo Hwa tidak merepotkannya dalam urusan financial. Bo Hwa juga tidak ingin berpangku tangan pada ajumma-nya itu. Bo Hwa bertekad jika sudah lulus kuliah nanti, ia akan pergi dari rumah yang selama ini memiliki kenangan buruk untuknya.

“Yang sabar Bo Hwa, tinggal 1 tahun lagi!” ujar Bo Hwa pada dirinya sendiri.

Bo Hwa tinggal bersama ajumma, ajusshi, dan kedua anaknya.

“Bo Hwa-ah! Kerjakan pr matematika-ku!” perintah Jae Shin, salah satu putra ajumma Bo Hwa.

Bo Hwa menarik nafas panjang.

“Jae Shin-ah, jika aku mengerjakan tugasmu, kau tak akan pernah mengerti dan bisa mengerjakannya sendirian.” Tolak Bo Hwa halus.

“Bo Hwa-ah, jika kau tidak mengerjakan tugasku, maka Appa dan Oemma akan memarahimu, juga, aku tak akan punya nilai.” Balas Jae Shin sambil mengikuti gaya bicara Bo Hwa tadi.

“Araseo?!” bentak Jae Shin.

Bo Hwa hanya pasrah dan segera mengerjakan tugas matematika milik Jae Shin. Walaupun batin Bo Hwa selalu menjerit, namun jeritannya tak pernah ada yang mendengarnya kecuali teman dekatnya, Kim Jun Su.

“Bo Hwa-ah, kenapa kau selalu menuruti perkataan kami?” Tanya Jae In, kakak Jae Shin.

“Jika aku tak menuruti perkataan kalian, maka tubuhku yang akan menerima akibatnya.” Jawab Bo Hwa tanpa mengalihkan perhatiannya dari buku milik Jae Shin.

“Baguslah! Berarti kau masih memiliki rasa takut, hah?” Tanya Jae Shin.

Bo Hwa tak menjawabnya. Keadaan hening sejenak. Tidak lebih dari setengah jam berlalu, Bo Hwa selesai mengerjakan tugas milik Jae Shin.

“Selesai.” Ucap Bo Hwa sambil menutup buku milik Jae Shin.

“Jae In oppa, aku berangkat kerja dulu. Annyeong!” pamit Bo Hwa sambil bangkit dari tempat duduknya.

“Ye!” balas Jae In yang masih santai duduk di sofa ruang tengah keluarga itu.

“Annyeong!” sapa Bo Hwa saat sampai di toko makanan tempatnya bekerja.

“Ne, annyeong.” Balas semua pegawai yang ada di toko itu.

“Bo Hwa-ah, mukamu kusut seperti itu, ada masalah dengan ajumma mu itu ya?” Tanya Jun Su yang baru keluar dari dapur.

Bo Hwa hanya mengangguk.

“Kau tahu, aku lebih suka dihargai sebagai pembantu, daripada diriku sekarang ini.” Ujar Bo Hwa ketus.

“Kenapa?” Tanya Jun Su heran.

“Jika aku jadi pembantu, aku pasti akan digaji. Sedangkan aku sekarang, bekerja sebagai pembantu tapi tidak dibayar.” Jawab Bo Hwa.

“Ajumma-mu sepertinya sangat menekanmu?” Tanya Jun Su lagi.

“Bukan hanya menekan, tapi membunuhku perlahan. Jika aku tidak menyemangati diriku untuk tetap bertahan sampai tahun depan, mungkin sudah sejak lama aku bunuh diri!”tambah Bo Hwa.

“Aish! Jika kau bunuh diri, maka sahabatku siapa?” Tanya Jun Su.

Bo Hwa tersenyum.

“Kau benar. Jika aku mati, siapa yang akan jadi sahabatmu?”

“Maka dari itu, kau jangan bunuh diri. Kau harus tetap kuat. Kan ada aku. Jika kau membutuhkanku, kau bisa memanggilku kapan saja. Asal, jangan memanggilku di 3 waktu.” Ujar Jun Su.

“3 waktu? Aku belum pernah tahu jika aku tidak bisa memanggilmu dalam 3 waktu. Kapan saja?” Tanya Bo Hwa.

Jun Su tersenyum.

“1, disaat aku tengah tidur. 2, disaat aku tengah berada di wc. Dan 3, saat aku tengah bersama dengan orang yang aku cintai.” Jawab Jun Su sambil tersenyum bangga.

Bo Hwa hanya menatap Jun Su lucu.

“Kau ini. Aku tidak akan menganggumu disaat seperti itu. Kau pegang janjiku!” ujar Bo Hwa.

“Ya! Bo Hwa, Jun Su, cepat bekerja. Banyak pelanggan kalian malah asyik mengobrol. Ngobrolnya lain kali saja!” titah seorang lelaki yang terlihat lebih tua dari pada mereka berdua.

Bo Hwa dan Jun Su hanya tersenyum malu sambil berlalu mengerjakan pekerjaan mereka sebagai pelayan di sebuah toko makanan siap saji di kota Seoul.

“Kau tahu Su, aku, sudah benar-benar ingin keluar dari rumah itu. Namun, dalam perjanjian yang disetujui 4 tahun lalu, aku baru bisa bebas tinggal atau memilih untuk tinggal jika aku berumur 24 tahun.disaat aku sudah siap untuk mengurus diriku sendiri. Dan itu sangat lama bagiku Su!” curhat Bo Hwa pada Jun Su saat perjalanan pulang.

“Aku mengerti. Tapi aku tidak bisa banyak membantumu. Mungkin, jika hanya sekedar membutuhkan teman ngobrol, aku bisa.” Jawab Jun Su dengan nada menyesal.

Bo Hwa tersenyum.

“Kau ini Su! Dengan kau mendengarkanku saja, hatiku sudah sangat senang. Kau tahu, kau adalah bagian terpenting dalam hidupku.” Ujar Bo Hwa sambil menatap Jun Su.

“Chongmal?” Tanya Jun Su tak percaya.

Bo Hwa mengangguk.

“Jika kau tak ada, mungkin kehidupanku akan terasa berat. Kau juga salah satu hal yang membuatku bertahan untuk tetap menjalani kehidupanku seberapa pun beratnya.” Tambah Bo Hwa.

Jun Su tersenyum.

“Gomapta.” Ujar Jun Su.

“Untuk apa? Harusnya juga aku yang harus berterimakasih padamu, bukan kau!” sanggah Bo Hwa.

“Kau sudah menganggapku sebagai hal yang paling penting untukmu. Aku, aku sangat senang.” Jawab Jun Su.

Bo Hwa dan Jun Su pun saling tersenyum.

“Baiklah, karena aku sudah sampai, aku pulang duluan ya! Annyeong!” pamit Bo Hwa.

“Ne annyeong!” balas Jun Su yang lalu berjalan pulang.

“Annyeong!” sapa Eun Rim yang baru saja pulang.

“Bo Hwa-ah! Darimana saja kau?! Kami disini menunggumu! Kami kelaparan daritadi! Hah?!” bentak ajusshi-nya.

“Josonghamnida Ajusshi. Tadi pelanggannya banyak. Jadi saya sedikit terlambat pulang.” Jawab Bo Hwa tanpa berani menatap wajah murka sang ajusshi.

“Sudah! Jangan banyak alasan! Cepat masak! Kami sudah sangat kelaparan!” bentak ajusshi yang membuat telinga Bo Hwa sedikit sakit mendengarnya.

Bo Hwa segera memasak bahan makanan yang ada di lemari es rumah itu.

“Maaf jika kalian menunggu lama.” Ujar Bo Hwa saat menyajikan makanan pada orang-orang yang mengaku keluarganya tersebut.

“Ya sudah, sana!” balas Ajusshi.

Bo Hwa hanya berjalan gontai menuju kamarnya. Padahal hari ini hari minggu, kenapa ajumma bekerja di hari libur seperti ini? Dan 1 yang selalu mengusik pikiran Bo Hwa. Sebenarnya, apa pekerjaan asli dari ajumma dan ajusshi? Hingga sekarang Bo Hwa tak tahu tentang semua itu. Bo Hwa segera melepaskan tas-nya yang masih menempel di pundaknya.

“Untung saja aku masih menyimpan ini.” Ujar Bo Hwa sambil mengeluarkan sekotak makanan dari tempat kerjanya. Segera Bo Hwa menyantap makanan yang sering ia sajikan pada pelanggannya. Selesai makan, Bo Hwa segera mengganti pakaian dan kembali turun ke tempat ajusshi nya sekarang berada.

“Ajumma belum pulang Ajusshi?” Tanya Bo Hwa pada ajusshi-nya.

“Belum. Memangnya kenapa?” Tanya Ajusshi-nya.

“Ani. Aku hanya menanyakannya.” Jawab Bo Hwa.

“Kau tidak makan Bo Hwa-ah?” Tanya Jae In.

Bo Hwa menggeleng.

“Tadi sudah di tempat kerja.” Jawab Bo Hwa sambil meneguk air putih yang sedari tadi dipegangnya.

“Aku tidur duluan. Annyeonghi jumuseyo!” pamit Bo Hwa.

“Bo Hwa-ah! Besok kau jangan bekerja!” ujar Ajummanya tiba-tiba di sela-sela sarapan.

“Mwo? Ajumma ingin aku libur sementara, atau menyuruhku untuk tidak pernah bekerja lagi disana selamanya?” Tanya Bo Hwa tak mengerti.

“Tentu saja untuk selamanya!” jawab ajummanya ketus.

“Waeyo Ajumma?” Tanya Bo Hwa tak mengerti.

“Ck! Besok kau juga akan tahu kenapa aku menyuruhmu untuk berhenti bekerja!” jawab Ajumma-nya.

Jawaban Ajumma-nya yang menggantung seperti itu membuat Bo Hwa sangat penasaran. Ada apa sebenarnya dengan Ajumma-nya itu? Apa yang membuat Ajumma-nya menyuruhnya untuk berhenti bekerja padahal waktu itu Ajumma-nya sangat ingin ia bekerja dan tidak merepotkannya dalam masalah keuangan? Pertanyaan demi pertanyaan datang silih berganti.

“Kau kenapa? Dahimu mengkerut sejak kau datang ke tempat kerja. Memangnya ada sesuatu yang kau pikirkan hingga dahimu seperti, hmmm, seperti apa ya?” Jun Su pun bingung sendiri untuk kiasan yang akan ia pakai untuk Bo Hwa.

“Aku bingung Su. Ajumma-ku menyuruhku agar tidak bekerja lagi. Ketika aku membutuhkan jawaban untuk pernyataan Ajumma yang membuatku kaget itu, Ajumma hanya berkata bahwa esok aku akan menemukan jawabannya. Dan ini sangat membuatku tersiksa Su-ah!” jawab Bo Hwa putus asa.

“Oh, mungkin Ajumma-mu baru saja mendapat kebaikan dari Tuhan hingga ia sadar tentang kebaikanmu.” Jun Su mengeluarkan idenya.

“Aku justru sebaliknya darimu Su-ah. Aku justru berpikir bahwa Ajumma memilki rencana yang tidak aku ketahui. Karena aku pikir, Ajumma ku bukan tipe orang yang dapat diberi masukkan oleh orang lain.” Bantah Bo Hwa.

“Tapi, siapa tahu dia akan berunbah.” Jun Su tetap pada pendiriannya.

“Aku harap seperti itu Su-ah.” Bo Hwa pasrah.

Hingga usai waktu kerja malam itu, Bo Hwa masih saja memikirkan apa yang akan terjadi esok hari. Ia sungguh tidak bisa menghentikan rasa penasarannya yang begitu ingin tahu, apa yang sebenarnya Ajumma nya sembunyikan.

“Kau masih memikirkan hal itu?” Tanya Jun Su saat mereka berjalan pulang.

“Tentu saja. Aku tahu karakter Ajumma ku. Makanya, terasa aneh saat Ajumma menyuruhku berhenti bekerja. Apakah Ajumma ku akan tetap membiayai kuliahku yang tinggal beberapa bulan ini?” Tanya Bo Hwa pada Jun Su.

“Jika kau tak tahu, apalagi aku.” Tambah Jun Su dengan nada sedih.

“Kau kenapa?” Tanya Bo Hwa kaget.

“Aku hanya kasihan padamu. Daritadi memikirkan Ajumma mu itu. Apa kau tidak pusing?” Tanya Jun Su.

Bo Hwa terdiam. Jun Su benar. Kepalanya terasa pusing terus memikirkan Ajumma nya itu.

“Baiklah Su-ah. Annyeong!” pamit Bo Hwa saat sampai di rumahnya.

“Ne. Kau jangan terlalu memikirkan hal itu ya! Jangan sampai kau sakit!” tambah Jun Su saat Bo Hwa akan membuka pintu.

Bo Hwa tersenyum dan menganggukan kepalanya.

“Tenang saja!” balas Bo Hwa yang segera melambaikan tangannya dan masuk ke dalam rumah.

“Annyeong!” sapa Bo Hwa.

Ajumma dan keluarganya tidak menjawab walaupun mereka melihat kedatangan Bo Hwa. Mereka menatap Bo Hwa dengan berbagai tatapan. Ajumma dan Ajusshi menatapnya dingin, Jae Shin menatapnya kesal, sedangkan Jae In hanya tersenyum melihat Bo Hwa yang baru saja datang, walaupun matanya tak lepas dari novel yang tengah dibacanya.

“Bo Hwa-ah kau sudah pulang? Ne, annyeong. Oemma, Appa, Jae Shin-ah, balas salam Bo Hwa!” titah Jae In.

“Ne, Annyeong!” balas mereka dengan ketus.

“Tidak baik jika seseorang memberi salam tapi tidak kita jawab.” Tambah Jae In.

Bo Hwa tersenyum. Bo Hwa tahu, walaupun Jae In terlihat cuek dan tidak perduli pada apapun selain novelnya itu, tapi sebenarnya Jae In adalah orang yang baik dan sangat perduli pada siapa pun. Makanya, hanya Jae In yang bisa dekat dengan Bo Hwa di keluarga itu. Itu pun tidak secara terlihat dia dekat dengan Bo Hwa, karena Oemma nya tidak suka.

“Bo Hwa-ah, ingat kata Ajumma tadi pagi?” Tanya Ajumma.

Bo Hwa tentu saja ingat. Karena seharian dia memikirkan hal itu. Bo Hwa mengangguk.

“Apa?” Tanya Ajumma memastikan.

“Besok, aku tidak usah bekerja, untuk selamanya. Tapi Ajumma, kenapa aku tidak boleh bekerja? Apa Ajumma akan membiayaiku kuliah? Lagipula besok kan aku memang tidak kerja.” Jawab Bo Hwa.

“Tentu saja bukan aku yang akan membiayaimu kuliah! Mana mau aku keluarkan uangku hanya untuk hal yang tidak menghasilkan bagiku!” balas Ajumma.

Bo Hwa hanya memanyunkan bibirnya.

“Apa maksudmu dengan besok kau tidak akan bekerja?” Tanya Ajumma.

“Besok kan aku kuliah. Tentu saja aku tak akan bekerja.” Jelas Bo Hwa.

“Jam berapa kau akan pulang?” Tanya Ajumma.

“Tidak akan lebih dari jam 7 malam. Memangnya kenapa?” Tanya Bo Hwa lagi.

“Pokoknya, sebelum jam 7 kau sudah harus pulang!” jawab Ajumma.

“Waeyo?” Tanya Bo Hwa tak mengerti.

“Tidak usah banyak tanya! Pokoknya sebelum jam 7 kau harus sudah ada di rumah, Araseo?!” Tanya Ajumma.

Bo Hwa hanya bisa mengangguk pasrah. Ia masih tetap penasaran, apa yang sebenarnya akan terjadi esok, dan kenapa Ajumma tidak memberitahu apa yang sebenarnya terjadi esok? Bo Hwa tak habis pikir.

Sudah pukul 10 malam, tapi mata Bo Hwa tak mau terpejam. Kata-kata Ajumma nya terus terngiang-ngiang.

“Sebenarnya, kenapa Ajumma ingin aku sudah ada di rumah saat pukul 7 malam? Apa, apa, sebenarnya apa yang akan terjadi besok? Aku tak habis pikir dengan sikap dan perkataan Ajumma padaku. Aku tidak bisa tidur!” ujar Bo Hwa yang semakin frustasi.

“Apa lebih baik kutanyakan pada Jae In oppa? Mungkin saja dia tahu?” tiba-tiba ide baru saja datang ke pikirannya.

“Apakah Jae In oppa belum tidur?” Tanya Bo Hwa saat ia baru saja meraih handphone-nya yang tergeletak di meja.

“Tidak ada salahnya kan mencoba!” jawabnya meyakinkan dirinya sendiri.

“To : Jae In Oppa

Annyeong Oppa. Maaf mengganggumu malam-malam begini. Tapi aku tidak bisa tidur karena memikirkan perkataan Ajumma. Barangkali Oppa tahu, bisa beritahu aku apa yang sebenarnya terjadi?” Bo Hwa segera mengirimkan pesan singkat pada Jae In.

Dengan sedikit rasa gugup, Bo Hwa menanti balasan dari Jae In oppa.

“From : Jae In oppa

Dear Bo Hwa-ah. Jika kau tanya apa aku tahu apa yang sebenarnya terjadi, tentu saja aku tahu. Tapi aku tidak bisa memberitahumu, itu semua karena paksaan dari Oemma ku untuk tetap menutup mulut hingga esok (apa yang sebenarnya terjadi) tiba. Mungkin aku hanya ingin memberimu sedikit clue tentang apa yang akan terjadi esok. Tapi ingat, jangan beritahu Oemma jika aku memberi clue untukmu?” balas Jae In oppa.

Dengan perasaan bahagia dan penasaran, Bo Hwa segera membalas pesan dari Jae In oppa.

“To : Jae In Oppa

Chincha? Kenapa hanya clue-nya saja? Kenapa tidak langsung saja beritahu aku apa yang sebenarnya terjadi? Aku janji tak akan memberitahu siapa pun. Oppa bisa pegang janjiku!” balas Bo Hwa cepat.

Namun Jae In tidak cepat membalas pesan Bo Hwa. Itu membuat Bo Hwa kesal.

“To : Jae In Oppa

Oppa! Balas! Apa kau sudah tidur?” Bo Hwa dengan cepat mengirimkan pesan pada Jae In.

“From : Jae In Oppa

Mian, mian. Baiklah, karena kau sudah sangat penasaran, akan kuberitahu. Besok, kau akan terbebas dari semua penderitaanmu. Tapi, aku juga tak tahu apa kau suka atau tidak. Jika aku, aku tidak suka, tapi Jae Shin sangat menyukainya. Dia bahkan ingin menjadi kau.” Balas Jae In.

Bo Hwa mengerutkan keningnya.

“To : Jae In Oppa

Terbebas dari semua penderitaan? Apa maksud Oppa? Aku tidak mengerti.” Balas Bo Hwa.

“From : Jae In Oppa

Aku sudah memberitahumu clue-nya. Jadi kau tak usah menanyakan hal yang lain. Sudahlah. Kau tunggu saja besok. Aku sudah ngantuk. Annyeonghi jumuseyo!” balas Jae In.

Bo Hwa justru semakin penasaran. Terlepas dari semua penderitaannya? Padahal umurnya belum 24 tahun. Dan jika memang dia akan terbebas dari rumah ini atau apapun yang membebaskannya dari semua penderitaannya, apa yang membuatnya bisa terbebas? Ini semua benar-benar mengganggunya.

“Mereka semua membuatku gila! Sudah malam seperti ini aku tidak bisa tidur karena memikirkan hal yang sama sekali belum tentu kebenarannya!” gerutunya sambil membenamkan kepalanya di bawah bantal.

np : Cerita ini asli fiksi buatan Author, jika ada yang copas mohon ijin dulu. jika tidak, maka urusannya bisa rumit. gomawo sebelumnya jika kalian bisa menghargai karya saya yang masih acakadut ini.
Gamsahamnida. ^^